Oleh: Luzian Pratama
Mimbar adalah tempat konsolidasi yang paling tepat membicarakan soal iman, dosa dan pahala. Namun persoalan dakwah ibarat mengurai benang kusut. Sebab yang sering terjadi melalui mimbar, umat tidak lebih seperti hewan ternak hanya mendengarkan dan mengikuti apa yang dikatakan oleh da’i. Da’i ibarat pengembala, umat digiring untuk pergi ke padang rumput yang disebut keimanan. Kondisi tersebut mengisyaratkan seolah-olah Allah berbicara perkara transendental saja, tanpa peduli dengan kehidupan seperti apa yang sedang dilalui oleh manusia.
Padahal manusia, dibalik keimanannya kepada sang Khaliq memiliki sejumlah masalah sosial yang begitu kompleks. Seperti kemiskinan, pengangguran, aliran sesat, kesenjangan sosial dan kriminalitas dan berbagai masalah lain. Pada posisi itu iman tidak mampu menyelesaikannya. Iman pada wilayah tersebut hanya sebagai obat penenang bagi manusia, bahwa masalah-masalah tersebut terjadi atas kehendak sang pencipta. Dengan kata lain, semua itu bisa dianggap sebagai ujian dan cobaan bagi manusia.
Jika menilik praksis dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Ali Nurdin menerangkan Dakwah tidak hanya sepintas persoalan keimanan. Dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad berupaya menjadi problem solver atas masalah yang sedang dialami oleh umat. Menjadikan dakwah sebagai solusi kongkrit masalah sosial keumatan. Dakwah tidak diartikan dengan paradigma sempit, tetapi dalam ruang lingkup aktifitas yang luas.
Agaknya aktivitas dakwah perlu berangkat dengan pertanyaan mendasar, bukankah tujuan dakwah itu untuk menciptakan suatu perubahan bagi masyarakat?. Baik itu perubahan keimanan maupun perubahan sosial. Sebab agama mengajarkan dua hal yang harus sejalan; menerapkan iman secara vertikal dan iman horizontal. Iman vertikal yaitu bagaimana manusia memposisikan dirinya sebagai hamba yang harus tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan yang dibentuk oleh Tuhan. Sedangkan iman horizontal adalah hablum minannas yaitu hubungan manusia dengan manusia lainnya. Hal ini dapat ditarik dari perintah Allah yang menyuruh manusia untuk menjaga hubungan baik dengan manusia. Dengan kesimpulan, iman tidak cukup dipraktekkan dengan doa dan perkara ritual agama secara individual kepada sang pencipta.
Sejalan dengan pandangan Yasril Yazid, pemahaman atas agama tidak bisa diartikan secara sempit pada penerapan iman kepada Allah belaka. Terdapat wilayah sosial yang juga menjadi subtansi dari ajaran agama. Berpijak kepada kondisi itu, aktivitas dakwah seharusnya berjalan dengan konsep “ummah”. Sehingga dakwah menjadi suatu kegiatan yang benar-benar berdampak terhadap masyarakat. Umat harus diposisikan sebagai sebuah tujuan terciptanya masyarakat sejahtera sebagaimana cita-cita Islam mewujudkan umat terbaik yang diciptakan Allah. Inilah hal yang paling mendasar untuk menghadirkan dakwah transformatif di tengah masyarakat.
Kompleksnya persoalan keumatan, mewajibkan adanya transformasi aktifitas dakwah. Ruang gerak dakwah tidak lagi sekedar narasi iman yang digaungkan pendakwah. Namun bagaimana dakwah berorientasi sebagai aktivitas untuk memperhatikan realitas yang berlangsung di tengah masyarakat. Pendakwah dituntut mampu mengintegrasikan narasi teks suci yang tertuang di dalam Alquran dengan kondisi masyarakat sebagai upaya penyelesaian terhadap berbagai masalah yang ada.
Realitas yang tidak dapat dibantah kiranya, masjid yang selalu berdampingan dengan pasar namun amat jarang disinggahi oleh mereka para pedagang asongan dan kuli untuk menunaikan kewajibannya kepada Allah. Kondisi itulah yang sedang berlangsung di tengah umat Islam, masjid dan dakwah dipandang timpang. Dakwah, bagi para penganut teologi transformatif menginginkan kegiatan dakwah berlangsung secara membumi. Kegiatan dakwah untuk semua orang, masjid dan pusat-pusat kegiatan dakwah tidak lagi dipandang oleh segelintir orang hanya tempat orang soleh yang datang dari pesantren, kalangan berjubah, bersorban dan orang-orang yang hanya memiliki status sosial terpandang.
Transformasi secara etimologi berasal dari bahasa inggris berarti perubahan. Baik dalam bentuk, rupa, model, karakter, dan sifatnya. Secara terminologi sosial, perubahan yang dimaksud adalah perubahan secara menyeluruh di tengah masyarakat. Secara sederhana dakwah transformatif dapat dipahami bagaimana aktivitas dakwah itu berubah dan untuk merubah umat secara menyeluruh. Dengan demikian, urusan dakwah tidak terbatas pada masalah syariat dan menutup mata terhadap persoalan fundamental lain yang terjadi.
Dakwah transformatif memposisikan umat sebagai subjek, bukan objek. Umat sebagai subjek dakwah tidak lagi didakwahi dengan model ala komunikasi bank. Ibarat tungku kosong yang harus diisi dengan berbagai keyakinan dan ajaran moral. Inilah yang menjadi perhatian penting bagi Kuntowijoyo, Nabi Muhammad dalam praksis dakwahnya berorientasi terhadap transformasi sosial. Transformasi yang dimaksud diklasifikasikan dalam dua bentuk; transformasi individual dan transformasi kolektif.
Sehubungan dengan itu, sejatinya sejak awal Islam mengusung visi transformatif. Perubahan yang dikehendaki Islam bukan sekedar perubahan akidah dari jahiliyah ke Islam. Tetapi juga perubahan sosial dari masyarakat yang tidak adil, zalim, dan sewenang-wenang berubah menjadi masyarakat yang adil, damai, dan menghargai perbedaan kelas sosial. Pada konteks ini, mengambil nalar kritis Kuntowijoyo, dakwah diartikan dengan misi kemanusiaan, dimana Islam menjadi kekuatan besar untuk merubah masyarakat berhubungan dengam masalah-masalah empiris.
Maka dakwah transformatif adalah aktifitas menyangkut upaya penafsiran wahyu yang memihak orang-orang tersingkir, tertindas dari mobilitas sosial, atau bahkan tersubordinasi akibat developmentalisme, kapitalisme, serta pasar bebas lain yang menggurita. Sejatinya hakikat dakwah transformatif yaitu dakwah membentuk dan menjadikan Islam yang berfungsi di segala lini kehidupan para penganutnya.
Dakwah transformatif dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode refleksi dan metode aksi. Refleksi dan aksi ini mensyaratkan dakwah transformatif tidak terjadi begitu saja. Kegagalan pemahaman yang sering terjadi, memaknai gerakan dakwah hanya aktivitas verbal. Pantas dan wajar, jika para pendakwah jarang menyentuh ranah realitas umat. Sehingga tepat bila menyebut refleksi dan aksi merupakan landasan metodologis yang menjadi landasan gerakan dakwah transformatif.
Metode refleksi merupakan ajang pengayaan gagasan dan pemikiran sebagai kerangka perwujudan karya-karya transformatif. Masalah yang terjadi di masyarakat tercermin sebagai dasar konseptual. Refleksi pendakwah terhadap masalah sosial di masyarakat sangat diperlukan agar pendakwah tidak kehilangan arah. Semisal masyarakat menghadapi konflik, maka konflik itu harus dilihat oleh pendakwah dengan berbagai sudut pandang dan mencari akar tunggal konflik tersebut. Bukankah konflik itu terjadi karena berbagai hal yang menjadi pemicu?.
Wilayah kerja dakwah transformatif dalam hal ini melihat konflik sebagai suatu yang urgen untuk diselesaikan dengan berbagai sudut pandang terhadap konflik tersebut. Mengandalkan metode refleksi dalam dakwah transformatif, mengharuskan para pendakwah menggali lebih dalam berkenaan dengan kebutuhan umat. Pada tataran refleksi atas problematika umat tersebut, juga tidak bisa dilakukan secara mandiri oleh pendakwah karena menyangkut kebutuhan umat. Refleksi haruslah disertai dengan komunikasi buttom up, dimana masyarakat berada pada posisi sentral.
Langkah kedua yaitu metode aksi. Merupakan sebuah eksperimen untuk merubah masyarakat secara nyata. Kerja pendakwah, menjauh dari pekerjaan verbal berupa penyampaian pesan-pesan syariat kepada umat. Pendakwah dituntut mengorganisir dan mendampingi umat dalam dan untuk melakukan perubahan. Seumpama masalah kriminalitas di kalangan remaja, pendakwah haruslah melihat kondisi tersebut sebagai persoalan krusial keumatan, bukan mendeskreditkan kesalahan tersebut sepenuhnya kepada remaja. Pendakwah, menghadapi kondisi tersebut dituntut menjadi teman bagi remaja untuk menghentikan perbuatannya dan berubah menuju kondisi yang lebih baik. Remaja tidak dirajam dengan ayat-ayat Alquran, tetapi diberikan jalan alternatif yang solutif supaya kriminalitas berhenti dan kembali kepada pesan-pesan Alquran dengan jalan yang mereka sukai dan sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Jika kedua metode ini telah dipahami dan dijalankan oleh para pendakwah, dengan sendirinya masyarakat akan berubah kepada kondisi yang lebih baik melalui jalan dakwah. Sehingga para pendakwah pun tidak terkesan seperti pengembala yang menggiring ternaknya. Disamping itu, dakwah tidak lagi aktifitas yang membosankan bagi masyarakat. Masjid dan aktifitas dakwah tidak lagi dipandang timpang sebab semua kalangan masyarakat dirangkul. Islam pun tidak terkesan kaku yang hanya melulu berbicara perihal iman, dosa, surga dan neraka. Akhir kata, perubahan dakwah yang dilakukan para pendakwah sekaligus menghendaki perubahan bagi umat yang didakwahi.