Perguruan Islam An-Nizhamiyyah

Seni Mendengar Ala Al-Qur’an: Refleksi di Tengah Bisingnya Era Digital

Oleh: Muhammad Alan Juhri, S.Ag, M.A

Di zaman yang serba cepat dan digital ini, berbicara, berkomentar, dan menanggapi sesuatu menjadi sangat mudah dilakukan. Media sosial memberikan ruang tanpa batas bagi siapa saja untuk menyampaikan pendapat, menyuarakan isi hati, bahkan kadang tanpa filter dan pertimbangan yang matang.

Seseorang dianggap cerdas jika mampu beretorika dengan baik, menyusun kata-kata yang memukau, atau lantang menyampaikan gagasannya di depan umum. Namun, satu hal penting yang sering kali luput dari perhatian adalah “seni mendengar”. Padahal, mendengar merupakan fondasi dari komunikasi yang sehat dan efektif. Lebih jauh dari itu, Al-Qur’an mengajarkan bahwa mendengar bukan hanya aktivitas pasif, tetapi bagian dari kecerdasan spiritual dan emosional.

Dalam QS. At-Taubah ayat 61, Allah berfirman:

وَمِنْهُمُ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ النَّبِيَّ وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ اُذُنٌۗ قُلْ اُذُنُ خَيْرٍ لَّكُمْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَرَحْمَةٌ لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۗ وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ رَسُوْلَ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

“Dan di antara mereka ada orang yang menyakiti Nabi dan mengatakan: ‘Dia adalah (sebuah) telinga’. Katakanlah: ‘Telinga itu baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu’.” (At-Taubah: 61)

Ayat ini menunjukkan bagaimana sebagian orang-orang jahiliyah yang mencela Nabi Muhammad sebagai “telinga”, dengan maksud merendahkan beliau karena dianggap terlalu banyak mendengar, tidak selektif dan mudah percaya. Namun Allah justru langsung membantah dan membela Nabi dengan menyatakan bahwa “telinga itu baik bagi kalian”, yakni bahwa sikap Nabi yang banyak mendengar adalah bentuk kasih sayang, kepercayaan, dan iman kepada Allah. Mendengar, dalam konteks ini, bukanlah kelemahan, melainkan kebajikan.

Pandangan ini sangat kontras dengan cara pandang masyarakat jahiliah saat itu—dan sayangnya masih banyak bertahan hingga hari ini—yang memandang diam dan mendengarkan sebagai kelemahan atau tanda kurangnya intelektualitas. Orang yang lebih banyak diam dan mendengar sering kali dianggap tidak berdaya, tidak punya pendapat, atau bahkan tidak layak memimpin. Sebaliknya, orang yang pandai berbicara dan selalu punya jawaban, sering kali langsung dianggap cerdas dan pantas dihormati.

Padahal, jika kita menilik lebih dalam, mendengar bukan hanya soal telinga menangkap suara. Dalam QS. Al-A’raf ayat 204, Allah berfirman:

وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204)

Dalam ayat ini digunakan kata istami’u yang merupakan turunan dari kata istama’a, bukan sami’a. Secara terjemahan, keduanya memang berarti “mendengar”. Namun secara makna, istama’a mengandung arti mendengarkan dengan penuh perhatian, fokus, dan kesungguhan untuk memahami. Sementara sami’a bisa saja berarti sekadar mendengar bunyi tanpa menangkap pesan atau makna. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, mendengar yang bernilai adalah mendengar secara aktif dan reflektif, bukan sekadar mendengar lalu berlalu. Inilah yang dikatakan sebagai “seni mendengar” itu.

Kemampuan mendengar yang baik sangat erat kaitannya dengan kecerdasan emosional. Orang yang memiliki seni mendengar akan lebih mudah memahami orang lain, memiliki empati, dan mampu menahan diri dari penghakiman yang tergesa-gesa. Mereka lebih sabar, lebih bijak dalam merespons, dan tidak mudah terpancing emosi. Seni mendengar memungkinkan seseorang untuk betul-betul menangkap pesan yang ingin disampaikan, memahami perasaan di balik kata-kata, serta membaca situasi secara utuh.

Sayangnya, seni mendengar ini makin hari makin terkikis di tengah gelombang kemajuan teknologi. Smartphone, media sosial, dan berbagai bentuk hiburan digital telah menggerus kemampuan dasar manusia untuk benar-benar hadir dalam komunikasi. Kita terlalu sibuk melihat layar, mengetik komentar, atau membuat konten, hingga lupa bahwa orang di depan kita sedang berbicara dan ingin didengar. Di ruang-ruang tongkrongan, di meja makan keluarga, bahkan dalam relasi suami-istri, seni mendengar kian jarang ditemukan. Tak jarang, konflik rumah tangga, retaknya pertemanan, atau bahkan perpecahan sosial berawal dari miskomunikasi yang sederhana: tidak adanya kesediaan untuk mendengar dengan baik.

Dulu, sebelum era digital menjamur, mendengar adalah bentuk perhatian tertinggi. Seorang anak mendengarkan cerita orang tuanya di ruang makan, sahabat saling curhat tanpa gangguan, siswa mendengarkan guru dengan antusias, dan pasangan saling berbagi cerita sepulang kerja. Kini, kebersamaan seperti itu makin mahal harganya. Bahkan ketika dua orang duduk bersebelahan, bisa jadi mereka tidak sedang berbicara dan saling mendengar satu sama lain, melainkan sibuk dengan dunianya masing-masing lewat ponsel yang ada di genggaman mereka.

Seni mendengar sebenarnya bukan hanya urusan etika sosial, tetapi juga ibadah. Mendengarkan dengan baik bisa menjadi bentuk kasih sayang, penghormatan, bahkan penyambung silaturahmi. Orang yang mampu mendengar dengan baik akan mampu pula berbicara dengan lebih bermakna. Ia tidak terburu-buru merespons, tidak mudah salah paham, dan tahu kapan harus diam.

Maka dari itu, ukuran kecerdasan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari kemampuannya berbicara, berdiplomasi, atau beretorika. Justru terkadang, orang yang paling banyak berbicara adalah orang yang paling sedikit mendengar. Padahal Allah menciptakan manusia dengan dua telinga dan satu mulut—isyarat bahwa kita semestinya lebih banyak mendengar daripada berbicara. Mendengar bukan kelemahan, melainkan tanda kedewasaan dan kebijaksanaan.

Di tengah derasnya arus informasi dan bisingnya dunia digital, mari kita kembali menghidupkan seni mendengar. Luangkan waktu untuk benar-benar hadir saat berbicara dengan orang lain. Letakkan sejenak gawai ketika ada keluarga atau sahabat yang ingin bercerita. Dengarkan dengan hati, bukan hanya dengan telinga. Tahan diri untuk tidak cepat menyela atau menyimpulkan. Dengarkan sampai selesai. Tanyakan kembali jika belum jelas. Tunjukkan bahwa kita peduli, bahwa kita hadir.

Sebab, bisa jadi yang dibutuhkan seseorang bukan solusi dari kita, tapi sekadar didengarkan. Dan mendengar dengan sepenuh hati, sebagaimana diajarkan Al-Qur’an, adalah salah satu bentuk ibadah dan kebaikan terbesar yang bisa kita berikan. Wallahu a’lam bisshawab.

(Direfleksikan setelah menyimak khutbah dari Ust Yendri Junaidi, Lc. M.A di Masjid Baiturrahman Sungayang, 16 Mei 2025)

Share Berita:

Pengumuman:

Kalender Event:

Berita & Artikel: