Perguruan Islam An-Nizhamiyyah

Semua Orang Berbakat

Oleh: Luzian Pratama

Secara umum, bakat dikenal sebagai kemampuan mendasar yang merupakan kelebihan alami manusia dan berbeda-beda pada setiap orang. Bakat bisa menjadi jalan menuju kesuksesan jika diasah dan dikembangkan dengan baik. Bakat juga bisa berlalu begitu saja jika tidak menemukan jalan untuk maju.

Dalam kajian psikologi, bakat memiliki arti khusus yang merujuk pada keseluruhan atau kehidupan seseorang sebelum sejak dalam kandungan hingga tumbuh dan hidup berdampingan dengan lingkungannya. Teori bakat pertama kami dipresentasikan oleh Howard Gardners. Howard Gardner adalah psikolog perkembangan dan Profesor Graduate School of Education, Harvard University Amerika Serikat.   Howard Gardner lahir pada 11 Juli 1943 di Scaranton, Pennsylvania, AS. Gardner, terkenal dengan bukunya Multiple Intelligences: Thory and practice yang kemudian disempurnakan dalam bukunya tahun 2000 Multiple Intelligences Reframed.

Garder adalah sosok yang produktif berkarya di bidang psikologi. Karyanya itu dikotomi kajian tentang anak cerdas, tidak cerdas, pelabelan hiperaktif, ketidakmampuan belajar, dan keterbelakangan. Gardner mendorong guru untuk mengeksplorasi teori kecerdasan majemuk. Setelah menemukan delapan bukti teorinya, Gardner memperkuat temuannya menjadi sembilan kecerdasan yang dituangkan di dalam dalam buku tersebut.

Mengenai bakat, ada dua pendapatyang dapat diutarakan, yakni bakat dinilai sebagai bawaan sejak lahir dan bakat yang muncul melalui pelatihan. Bagi yang menganut bakat sebagai bawaaan sejak lahir, mengatakan bahwa bakat sebagai kemampuan yang dapat digunakan seseorang untuk belajar dengan cepat dan baik. Sedangkan pemahaman bakat hasil karya latih seseorang menilai, bakat lahir setelah diakukan usaha melatih diri yang hasilnya akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Kedua pandangan tersebut berbicara bakat secara general dan bakat secara khusus.

Dengan demikian dapat dimaknai bahwa setiap manusia memiliki bakatnya masing-masing sejak lahir, yang kemudian jika dilatih menghasilkan bakat secara khusus yang akan membedakan bakat seseorang dengan orang yag lain. David Bornstren, dalam catatan kisah-kisah pemberdayaan berjudul How to Change The World, menuliskan bagaimana Jacob Scramm menemukan bakat-bakat yang dimiliki banyak orang di luar perguruan tinggi.

Tepatnya pada tahun 1991, Scramm menjadi direktur Program Remaja Jubilee, melihat adanya kesenjangan pasar perguruan tinggi. Siswa yang mendapatkan nilai yang baik dan perekonomian memadai dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sedangkan siswa yang biasa-biasa saja secara akademis dan finansial keluarga tidak mendapatkan perhatian untuk melanjutkan pendidikan mereka. Scramm menilai perguruan tinggi hanya mencari para  bintang-bintang bintang sekolah. Ini sebuah kesenjangan pasar perguruan tinggi, sedangkan dalam pandangan Scramm mereka dengan nilai menengah justru pun sama halnya dengan siswa bernilai tinggi. Sebab siswa nilai menengah mempunyai kemampuan lain yang unik.

Tahun 1993, empat orang siswa yakni Theresa, Desmond, Yonday dan Alimamy meminta Scramm membantu mereka masuk ke perguruan tinggi, Scramm menemukan keempatnya merupakan anak yang memiliki bakat hebat namun memiliki skor bakat akademis yang tidak memadai. Akhirnya Scramm menyiasati kekurangan kemampuan akademis tersebut dengan memandu para siswa membuat esai. Akhirnya keempat siswa tersebut lulus di perguruan tinggi dan dua di antaranya berhasil menerima beasiswa penuh. Kejadian yang sama terjadi paa tahun 1994, Scramm berhasil membuat tiga orang siswa yang biasa-biasa saja dalam akademis masuk ke perguruan tinggi.

Saya teringat dengan sebuah film bollywood berjudul Taare Zaamen Par. Film yang disutradarai Amir Khan tersebut bercerita tentang Ikhsan Nankhishore Awasti, seorang anak yang memiliki kesulitan dalam belajar. Ikhsan berbanding terbalik dengan kakaknya yang selalu berprestasi dan atlet yang kerap ikut di berbagai perlombaan. Siapa sangka guru yang selama ini menganggap Ikhsan sebagai murid yang gagal, justru memiliki kemampuan seni yang sangat baik. Bakatnya itu ditemukan oleh guru bernama Rham Sankhar Nikumbh. Ikhsan akhirnya di bawah bimbingan Nikumbh, menjadi seorang murid terdepan di sekolahnya.

Berangkat dari dua kisah ini, penulis hendak mengatakan bahwa bakat sejatinya dimiliki oleh semua orang di mana saja. Bakat ada di dalam diri siapa saja, namun tumbuh berbeda antara satu dengan yang lain. Di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Indonesia, kesenjangan seperti yang dikatakan Scramm hari ini sebenarnya terus saja berlangsung. Ketidakadilan dalam memaknai siswa terjadi sebab kemampuan dan  bakat siswa hanya diukur dari kalkulasi matematis sistem.

Sistem hanya mengetahui nilai A dengan predikat bagus dan C sedikit lebih buruk. Ketidakadilan memandang seseorang itu juga berlanjut hingga dunia kerja, yang mana di Indonesia lebih mengedepankan angka-angka hasil belajar sebagai tolak ukur utama. Padahal yang memiliki kekurangan dalam hal akademis, mungkin saja memiliki keahlian khusus dibandingkan yang lain.

Seharusnya hal ini tidak terus berlanjut, sekolah dan perguruan tinggi sebagai tonggak pendidikan lebih ramah dan manusiawi terhadap siswa. Begitu pun dengan lembaga penampung tenaga kerja,angka-angka akademis bukanlah satu hal yang mutlak untuk mengukur kompetensi manusia. Dibalik nilai-nilai akademis yang biasa-biasa saja mungkin terdapat kemampuan lain yang begitu hebatnya. Sebab semua orang dilahirkan dengan suatu kemampuan, bakat alami dan yang dapat dikembangkan.

Share Berita:

Pengumuman:

Kalender Event:

Berita & Artikel: