Oleh: Faris Ibrahim (Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo)
Umar bin Khattab, ya sahabat yang terkenal tegas itu, di tengah kegelisahannya melihat pengaruh buruk khamr, menengadahkan kedua tangan seraya berdoa: “Allahumma bayyin lanaa fil khamri bayaanan syaafiyan.” Seketika membumilah al- Maidah ayat 90. “Jauhilah perbuatan- perbuatan itu”, termasuk di dalamnya menenggak khamr. Mendengar titah itu, kaum muslimin tidak berleha, langsung kendi- kendi arak itu dibantingkannya hingga tumpah ruah. Jalanan kota Madinah banjir oleh sebabnya.
Tidak perlu panjang pikir, tidak perlu digebuk pihak keamanan, tidak perlu ada tawar-menawar, kaum muslimin langsung bersegera ber-sami’na wa ato’na. Lantas menguaklah sebuah tanya dari fenomena ini, apa sih yang membuat suatu aturan itu ditaati manusia, dan aturan lainnya ditolak?
Karena Amerika sejatinya pernah melakukan hal yang sama, tepatnya di tahun 1920. Amerika meloloskan undang-undang anti miras (khamr). Tapi bukan malah meraup dampak positifnya, yang didulang malah sebaliknya. Demontrasi terjadi di mana-mana, kerugian mewabah karena ulah mafia el- Capone yang menyeludupkan minuman tersebut.
Memisahkan arak dari rakyat Amerika memang agaknya bak merenggut obor dari Liberty, betul-betul kurang ajar. Bagaimana pun arak sudah jadi sejawat sepenghidupan bagi rakyat Amerika. Maka tak heran, berselang 13 tahun saja di masa Roosevelt, undang- undang tersebut ditarik kembali. Amerika menolak titah pemerintahnya.
Rabbaniyatul Mashdar, itulah yang menjadi pembeda Madinah, dan Amerika. Perintah yang turun di Madinah sumbernya dari Allah, dari Tuhan. Lain cerita Amerika, tujuannya sama, memberantas miras, namun berangkat dari konsensus manusia yang penuh waham, rentan.
Perintah yang sumbernya dari Tuhan punya kekhasan, yaitu wibawa. Kewibawaan, membuat manusia cenderung tidak banyak tanya apalagi menggugat. Semua diterima karena keyakinan, pasti di sebaliknya ada imbalan, pasti di sana ada kebaikan. Pasti.
Itulah yang menjelaskan peristiwa kenapa seorang wanita datang ke Rasulullah ﷺ bersikeras meminta ditegakkan hukum padanya; karena telah berzina. Secara logika memang tidak masuk akal, namun ia benar- benar melaporkan celanya. Bukti bahwa hukum Allah penuh wibawa.
Hari ini lebih dari satu setengah milyar manusia berpuasa. Tanyakan, filsafat mana di dunia yang dapat memobilisasi sebegitu banyak orang sebagaimana Islam. Padahal, yang di-taklifkan tidaklah cukup mudah; menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenamnya. Namun, mereka dengan sepenuh hati melakukannya; bukan oleh karena sesiapa, cukup karena agama yang memerintahkannya.
“Setiap kali kita melaksanakan puasa, saya selalu berpikir begini, mengapa hampir 2 milyar umat manusia hari ini berpuasa? Padahal tidak ada undang- undang yang memaksa mereka berpuasa, tidak ada negara yang mewajibkan mereka berpuasa, tidak pula ada polisi yang ditugaskan khusus untuk mengontrol orang yang tidak berpuasa”, kata Anis Matta di salah satu ceramah Ramadhannya, kemudian di ujung kata-katanya beliau menyelipkan sebuah pertanyaan, “apa yang membuat suatu aturan itu ditaati manusia, dan aturan lainnya tidak ditaati manusia?”
Pertanyaan yang serupa bisa kita tanyakan pada seluruh manusia, “filsafat mana di dunia, lembaga kemanusiaan mana di dunia, komunitas mana di dunia, negara mana di dunia, kerajaan mana di dunia yang serentak membuat manusia 2 milyar menahan lapar, dahaga dan hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenamnya?”, jawabannya tidak ada, hanyalah Islam yang punya kuasa itu.
Kenapa agama selalu lebih lama dari pada kerajaan dan negara melintasi masa? Kenapa nama para Nabi lebih lekat kita ingat, dibanding mereka para raja, presiden, atau perdana menteri?
Jawabannya karena yang ber-rabbaniyatul mashdar penuh wibawa. Yang dari Tuhan, selalu menang di hati manusia. Dari pemandangan puasa, kita bisa melihat itu; bahwa hukum Allah selalu selangkah berada di depan hukum manusia. Agama selalu lebih unggul di antara seluruh komunitas manusia. Dan akan terus demikian. Selamanya.
Suatu ketika Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu berdoa di tengah kegelisahannya melihat dampak Khamr yang kian memudharatkan kaum muslimin, “Allahumma bayyin lanaa fil khamri bayanan syafiyan”, ya Allah terangkanlah hukum pada kami dalam urusan Khamr ini. Seketika turunlah ayat yang secara mutlak mengharamkan konsumsi khamr setelah sebelumnya Al- Qur’an hanya sebatas mengatakan bahwa khamr itu lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan” (Al- Maidah: 90).
Selepas turun firman Allah itu, kaum muslimin langsung berbondong- bondong mengangkat arak- arak mereka membantingnya di jalanan, hingga diceritakan jalanan Madinah saat itu banjir oleh khamr.
Di lain cerita di tahun 1920, Amerika menetapkan undang- undang anti miras. Bukan malah meraup dampak positifnya, peraturan itu malah merugikan negara tersebut, terlebih karena ulah mafia Al Capone yang menyeledupkan banyak miras illegal.
Selain itu, aturan tersebut juga memang tidaklah laku di pasaran, walaupun kongres telah mensahkannya, terjadi banyak unjuk rasa penolakan, karena bagaimanapun miras telah menjadi teman bagi bangsa Amerika, akhirnya tepat 13 tahun setelahnya di masa Presiden Roosevelt, peraturan tersebut dicabut.
Dari yang demikian terpaparlah jelas di hadapan kita, kenapa kata ijtanibu (jauhilah) yang tertulis di Qur’an yang menjadi reprentasi perang Islam terhadap khamr lebih meresap di hati manusia dari pada undang- undang Amerika? Di sinilah kita temukan jawabannya, jawabannya adalah manhaj Rabbani.
Di antara karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh agama- agama lainnya adalah rabbaniyatul mashdar (sumber ilahi), bagaimana kita tahu bahwa agama lainnya tidak bersumber pada sumber ilahi? Mudah saja, dari namanya kita bisa mengetahui itu, Yahudi penisbatan terhadap seseorang bernama Yahuda, Budha penisbatan terhadap seseorang yang bernama Budha atau Sidharta Gautama, Nashrani penisbatan terhadap suatu desa bernama Nashirah, selain itu tentu kita juga mengetahui, 2 konsili besar Kristen yaitu Nicea (325 M) yang mengahasilkan ijma’menuhankan Yesus, kemudian konsili Kontantinopel (381 M) yang menyepakati ketuhanan Roh Kudus. Dari yang demikian, kita dapat mengatakan, bahwa selain Islam tidak ada agama yang benar- benar bersumber pada hukum Tuhan.
Kembali ke pertanyaan awal, mengapa manusia yang 2 milyar berpuasa dengan senang hati tanpa dipaksa otoritas? Kenapa undang- undang Al- Qur’an tentang Khamr tetap eksis sejak 1400 tahun lalu hingga sekarang, tidak seperti Amerika yang hanya bertahan 13 tahun?
Jawabannya mudah saja, manusia lebih mematuhi peraturan Tuhan (manhaj rabbani) dari pada aturan manusia (manhaj basyari), itulah juga yang menjelaskan kenapa agama terus eksis dalam sejarah umat manusia, sedangkan negara dan kerajaan menghilang tergantikan seiring berjalannya waktu. Karena agama lebih didambakan manusia dari pada negara.
Kenapa manhaj rabbani lebih ditaati? Pertama, karena aturan Allah bersih dari kontradiksi yang mana aturan manusia tidak bisa berlepas diri dari hal tersebut. Kedua, aturan Islam membawa keadilan mutlak, yang mana hukum manusia tidak terlepas dari dorongan hawa nafsu. Ketiga, manhaj Rabbani memiliki wibawa, inilah yang menjelaskan mengapa manusia yang 2 milyar sepakat berpuasa tanpa campur tangan paksa negara dan lembaga keamanan. Yang keempat, karena hukum Allah membebaskan manusia dari penghambaan terhadap manusia kepada penghambaan terhadap Allah semata. Itulah semua, penjelasan mengapa manhaj rabbani Islam patut digaungkan menjadi gema untuk semua manusia menciptakan kedamaiaan.
Allahu a’lam bis showab
*referensi: Dirasat fid Da’wah Islamiyyah karya Dr. Abdul Qadir Sayyid Abdur Ra’uf