Oleh: Faris Ibrahim (Mahasiswa Master Islamic Studies UIII)
Konon katanya persekolahan memang dibuat untuk menyiapkan tenaga-tenaga ahli yang bisa mengabdikan diri untuk revolusi industri. Begitu menurut Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar di Institut Teknologi Surabaya (ITS). Kata beliau: saat gereja Anglikan Inggris dan Katholik Roma bersikap ambiguous terhadap keluarga, maka memang pendidikan di Barat sangat mengandalkan persekolahan bagi regenerasi nilai-nilai Barat yang sekuler.
Jadi, sekolah memang tadinya hanyalah alternatif sekelebat saja yang menggantikan posisi keluarga. Selain kehidupan bermasyarakat, sekolah hanyalah satu dari Tri Sentra Ki Hadjar Dewantara yang harus berkolaborasi mewujudkan cita-cita pendidikan nasional.
Namun, yang terjadi hari ini memang amat disayangkan. Sekolah kadung terkadang dianggap satu- satunya muara ilmu. Celakanya, orang tua banyak yang termakan logika sederhana itu: tidak sekolah = tidak kerja.
Sayang sekali. Masyarakat kita memang masih cenderung simplistik berkesimpulan. Padahal tentu saja sebab-akibat seperti itu banyak tak berjodoh dengan fakta- fakta di lapangan. Bukan hanya satu- dua, toh kita sudah banyak mengenal tokoh-tokoh domestik dan internasional yang bisa sukses tanpa embel- embel gelar akademis.
Bukan hanya sudah bisa kerja, mereka malah sudah bisa membuka lapangan kerja bagi teman-teman seangkatan mereka yang studi sampai jenjang paling tertingginya.
Sekolah Bukan Pabrik Industri Manusia
Terpujilah Roem Topatimasang yang menulis Sekolah Itu Candu. Rasanya memang benar. Sekolah tidak lagi dianggap sebagai salah satu; karena candu, sekolah dicap sebagai satu-satunya. Terciptalah frasa sekolahisme yang mewakilinya.
Alhasil, jadi abdi bagi industri sudah dianggap biasa; toh, jadi industri itu sendiri saja mereka sudah tak mengapa. Status yang Rene Guenon lekatkan pada mereka di bukunya The Crisis of Modern World telah diaminkan: ketimbang jadi ciptaan Tuhan, mereka lebih mirip mesin.
Dulu, pas masih SMP, saya ingat sekali, di bawah pancaran hangat mentari pagi, di lapangan sekolah, di bagian amanat pembina upacara, salah seorang guru bilang: kalian ini seperti roti, dalam proses pembuatannya kalian mesti dipukul- pukul, digiling, dipanaskan dalam oven; agar menjadi roti yang lezat kalian mesti melalui proses-proses itu.
Apakah gambaran seperti itu yang jadi akhir mimpi Pak Nadiem tentang pendidikan kita yang link and match dengan dunia industri?
Perumpamaannya memang terdengar filosofis, keren. Namun, nuansa industrinya kental sekali. Padahal sekolah bukanlah pabrik roti: kepala sekolah jadi mandornya, para guru jadi buruh pekerjanya—yang saking jauhnya dari esensi memanusiakan manusia—memandang muridnya seperti adonan yang mesti dicetak sesuai pesanan pemodal untuk jadi santapan siang-malam.
Sekolah bukan industri. Sekolah bukan pabrik. Sekolah adalah tempat manusia mengajar manusia arti luhur kemanusiaan
Guru Tidak Akan Tergantikan
Maksud saya, tentu saja belajar pada guru juga mesti, bahkan harus. Hatta ketika esensi memanusiakan manusia kelak hilang dari mereka, itu semua tidak menggugurkan mereka di runtutan rukun ilmu. Itu sudah bulat, tidak boleh diganggu gugat.
Bagaimanapun, belajar harus berguru. Sepekat apa pun kelak teknologi mewarnai dunia pendidikan kita, sepintar apa pun Google dengan kemahatahuannya menyajikan ragam informasi untuk dikonsumsi, guru tetaplah guru yang mesti masuk dalam rukun ilmu.
Lagi pula, sepanjang sejarah, paling tidak kita telah menyaksikan, bahwa selalu saja ada yang tidak bisa dilakukan ciptaan manusia, sehingga harus dibantu oleh manusianya sendiri sebagai penciptanya.
Mesin penyedot debu bisa membersihkan rumah, namun mesin itu tidak akan bisa bekerja kalau tidak ada yang menyalakan tombolnya, manusialah yang mesti menggeser tombol on-nya. Begitu pun hubungan guru dan teknologi semacam Google dalam dunia pendidikan kita, tidak lebih sama.
Guru sebagai Penuntun, Murid sebagai Penentu
Namun begitu, memang sudah jamak kita ketahui, salah satu rukun ilmu, selain guru, adalah murid, yaitu kita sendiri. Apalah artinya bongkar-pasang kurikulum kalau kita muridnya tidak sadar diri sebagai murid.
Benar, duduk di majelis guru hanyalah salah satu yang imam Syāfi’ī syaratkan. Sisanya, selain bekal harta, adalah kecerdasan, semangat, dan waktu. Semuanya mesti kita penuhi sendiri, demi meraih ilmu. Itu semua tidak bisa kita gantungkan pada kurikulum, atau menteri pendidikan yang dawam pergantian.
Oleh karenanya, rasanya tidak ada cara terbaik bagi kita untuk melahirkan pemahaman, kecuali dari rahim pikiran kita sendiri. Ya, karena bagaimanapun, mereka para guru yang amat kita hormati hanyalah penuntun, akhirnya kitalah yang jadi penentunya.
Ada di tangan kitalah kemungkinan untuk paham atau tidak paham. Makanya, pemahaman yang baik harusnya dibangun di atas fondasi kesadaran personal. Kita belajar, ya karena ingin paham—ada atau dengan tanpa adanya mereka para guru.
Seperti musim dalam setahun, yang membuat kita memakai pakaian yang sesuai, begitulah seharusnya proses belajar, menyesuaikan. Dibangun di atas kesadaran, bukan paksaan. Coraknya bukan pabrikan.
Kalau ada pemahaman yang keliru tentang kelaziman memakai pakaian yang sesuai di musim dingin, guru seharusnya menuntun kita untuk meresapi dingin, bukan memberitahu kita untuk memakai jaket yang pas. Karena tadi, akhirnya kitalah yang jadi penentu kesadaran berpakaian, bukan mereka.
Dari mulai Pak Fachrul Razi yang mau merombak buku-buku agama atas dasar pengentasan radikalisme, sampai Pak Nadiem Makarim—menteri pendidikan—yang mau mengutak-ngatik kembali kurikulum pendidikan.
Buat apa itu semua kalau kita—peserta didiknya—tidak kerasan memahami esensi menuntut ilmu yang satu itu: membangun kesadaran dari dalam diri untuk mengerti, bukan semata-mata karena kurikulum atau guru; karena kita—murid sebagai penentu—juga adalah bagian dari rukun ilmu.
Perumpamaan dan Harapan Lajur Pendidikan Kita
Kita, (maha)siswa Indonesia, jiwa dan raga kita disayat-sayat di labarotorium bernama sekolah. Padahal perih, sakitnya luar biasa.
Kita disuruh berobat ke apotek pendidikan di luar negeri, oleh mereka yang tak kunjung kesampaian menemukan inti penyakit pendidikan kita. Apa boleh buat, akhirnya kita pergi: ada yang ke Eropa, Amerika, Afrika, semua benua. Sesampainya di sana, sambil menahan sakit, dengan wajah pucat, banjir keringat, gagap—kita meracau.
Apoteker bertanya: mau obat apa? Kita bingung. Akhirnya kita sebut semua gejala penyakit pendidikan kita. Batuk-batuk gaji para guru yang mendat, demam suap-menyuap untuk jadi kepala sekolah, serak-serak suara kritisme yang diajarkan di kampus, semua yang kita sebut hanyalah gejalanya, kankernya kita tidak tahu-menahu.
Apa boleh buat, akhirnya apoteker menggeser semua kaca etalasenya. Semua obat dikeluarkannya. Karena tak kuat menahan sakit, akhirnya kita telan semua pilnya, segera.
Kira-kira begitulah ilustrasi permasalahan pendidikan kita selama ini. Tidak ada diagnosa menyeluruh. Akhirnya katastrofe yang sama terulang kembali. Kabinet berganti, dokter-dokter kita masih saja salah meresep obat. Alhasil, sembuh satu, kambuh seribu; karena mereka tidak tahu induk semang penyakit pendidikan kita.
Kita berharap, Pak Nadiem bukanlah bagian dari mata rantai laten dokter-dokter itu, yang sering gonta-ganti resep obat tapi tidak tahu-menahu inti penyakit pendidikan kita.
Dari mulai catatan UNESCO, sampai KEMDIKBUD sendiri yang mengemukakan banyak problematika pendidikan kita, seperti: 6,99 juta anak Indonesia yang putus sekolah, 10, 14% guru yang dianggap tidak layak mengajar, minimnya ruang kelas dengan kondisi yang baik: SD: 26, 4%, SMP: 29,7%, SMA: 44,8%, SMK: 46,7%.
Rasanya, kalau kita resapi baik-baik, seakan memang ada hal- hal yang lebih prinsipil yang perlu dilakukan Pak Nadiem ketimbang menyambung tradisi gonta-ganti kurikulum.
Wallahu a’lam bisshawab