Oleh: Luzian Pratama
Kemiskinan bagi Nabi Ayub adalah soal karunia dari Allah yang diberikan melalui ujian. Nabi Ayub mampu melewatinya, sehingga ia dikenal dalam berbagai literatur sebagai utusan Allah yang paling sabar. Namun apakah kita akan memaknai kemiskinan sebagai kehendak ilahi yang tidak dapat dirubah?. Menganggapnya sebagai takdir yang tidak lagi dapat dibantah dan mesti dilewati dengan rasa kesabaran yang begitu pekat pada wilayah iman. Apakah kita, sebagai khalifah pelanjut misi kemanusiaan para nabi tidak mempunyai tanggung jawab untuk mengentaskannya?.
Ulasan ini tidaklah akan membahas kemiskinan sebagai sesuatu yang sakral, yang mesti ditindaklanjuti dengan rasa sabar dan kumpulan do’a suci kepada ilahi sebagaimana anjuran para pendakwah di mimbar-mimbar masjid tanpa solusi kongkrit. Meski kemiskinan adalah masalah kemanusiaan yang akan tetap ada sepanjang masa, tapi bukan berarti perkara yang mustahil pula untuk dikurangi dari segi jumlahnya dan tingkatannya. Sekalipun yang saya utarakan ini berada dalam pandangan pesimistis para pembaca yang budiman.
Kemiskinan pada umumnya hanya dikolerasikan dengan sektor ekonomi saja. Padahal kemiskinan dapat dilihat dari sisi sosial dan budaya masyarakat. Pada prinsipnya kemiskinan menggambarkan kekurangan harta benda dan rendahnya pendapatan, lebih tepatnya kondisi dimana kebutuhan dasar manusia yaitu makanan, tempat tinggal dan pakaian, tidak dapat dipenuhi. Pengertian ini sejalan dengan yang dikemukakan di dalam Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk kehidupan yang layak.
Supriatna menyatakan, kemiskinan bukanlah situasi atau kondisi yang dikehendaki oleh masyarakat yang menderitanya. Suatu penduduk dikatakan penduduk miskin, dijelaskan Supriatna jika memiliki tingkat pendidikan, produktivitas tenaga kerja, pendapatan, kesehatan, dan kesejahteraan yang rendah. Kemiskinan dapat disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang tersedia baik melalui pendidikan formal atau nonformal, yang menyebabkan rendahnya tingkat pencapaian.
Pengertian yang disampaikan Supriatna tentang kemiskinan ini dapat dipahami dengan kemiskinan sebagai sebuah gejala yang disebabkan oleh sejumlah keterbatasan yang terjadi pada masyarakat miskin. Sedangkan kemiskinan dalam pendapat Chambers, adalah suatu konsep yang terintegrasi dengan lima fakta sosial yakni kemiskinan itu sendiri, ketidakberdayaan, ketergantungan, kerentanan menghadapi situasi darurat, dan keterasingan. Maka dengan demikian kemiskinan tidak hanya soal rendahnya pendapatan, tapi juga soal keterbatasan akses dan dimensi lainnya.
Sebuah kejadian menarik yang beredar di jejaring media sosial, seorang perempuan berbicara tentang kemiskinan. Di dalam video tersebut saya mengambil penggalan kalimatnya “jika kamu miskin, jangan salahkan pemerintah. Salahkan kenapa kamu lahir dari orang tua yang miskin”. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, kemiskinan bukanlah kondisi yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang miskin tersebut. Kemiskinan tidak dapat ditanyakan dengan “kenapa anda mau miskin?”.
Kemiskinan terjadi meliputi berbagai dimensi, maka kemiskinan tidak bisa diartikan sebatas miskin sebagai kondisi yang dibawa oleh penderita kemiskinan. Merujuk kepada pendapat para ahli, kemiskinan berlangsung dengan empat bentuk yaitu kemiskinan secara struktural, kemiskinan secara kultural, kemiskinan relatif, dan kemiskinan absolut. Dengan demikian bentuk kemiskinan ini pun dapat dikatakan sebagai sebab terjadinya kemiskinan tersebut.
Kemiskinan struktural adalah bentuk kemiskinan yang sering mendapat perhatian dari kalangan ilmu sosial. Para sarjana berbendapat, kemiskinan struktural dianggap kondisi yang paling umum menyebabkan adanya ketiga bentuk kemiskinan lainnya. Kemiskinan struktural terbentuk dari akses yang buruk ke sumber daya, yang biasanya terjadi tatanan sosial budaya atau politik kurang menguntungkan. Pengentasan kemiskinan juga terkadang justru mengandung unsur diskriminatif. Artinya poin penting bagi kemiskinan struktural adalah akses. Akses pendidikan, politik, sumber daya alam dan budaya. Maka masyarakat yang terjebak pada kemiskinan struktural membutuhkan peran besar yang berada pada lingkup struktur, semisal kebijakan yang berpihak.
Kemudian kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkannya sikap dan kebiasaan seseorang atau masyarakat pada umumnya berasal dari budaya atau kebiasaan yang relatif tertutup untuk meningkatkan taraf hidup melalui metode modern. Cara-cara seperti itu bisa malas, boros atau tidak pernah hemat, kurang kreatif dan juga relatif bergantung pada pihak lain. Dalam sebuah ulasan yang pernah saya tulis di kompasiana, merupakan sebuah aforisme kemiskinan secara kultural. Dalam tulisan tersebut saya mengulas tentang sebuah kalimat yang mengakar secara praksis di tengah kehidupan masyarakat Melayu Kuantan Singingi.
“bialah rumah cunduang asal sambal lai bominyak”. Kalimat itu bermakna biarlah rumah jelek asalkan makan tetap enak. Ini salah satu bentuk ungkapan dari kemiskinan, orang Melayu hanya disibukkan untuk menuntaskan persoalan perut. Jangankan soal pendidikan dan kreativitas, untuk persoalan rumah tempat berteduh saja tidak dapat dipikirkan karena dikalahkan persoalan perut. Saya mengatakan ini sebagai bentuk kemiskinan kultural, yang mana nilai-nilai lokal masyarakat tidak terbuka dan maju.
Kemiskinan selanjutnya kemiskinan bentuk relatif, kemiskinan relatif dapat dimaknai dengan kondisi yang terjadi akibat dari pemerataan pembangunan belum dirasakan semua lapisan masyarakat. Sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan atau ketimpangan standar kesejahteraan. Kondisi ini mengakibatkan kesenjangan antara satu derah denan daeah yang lain. Daerah yang belum terjangkau oleh program pembangunan ini sering disebut sebagai daerah tertinggal.
Berbanding terbalik dengan kondisi kemiskinan relatif, kemiskinan absolut adalah kondisi yang mungkin saja akses-akses tersebut sudah dimiliki, pemerataan pembangunan pun sudah dirasakan, namun kelompok masyarakat tetap saja berada di bawah garis kesejahteraan, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Kemiskinan absolut sering dijadikan sebagai standar menentukan kemiskinan yang diukur berdasarkan pendapatan.
Mengenai persoalan kemiskinan ini, ketika Gus Dur memimpin Indonesia, ia memakai paradigma pengentasan kemiskinan berdasarkan kaidah fiqh “tasyarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuutun bi al-maslahah” (kebijaksanaan dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin). Gus Dur percaya bahwa seorang pemimpin harus mengutamakan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Menurutnya, tujuan kekuasaan bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang dibentuk untuk kegunaan.
Meskipun prinsip kepentingan sering diterjemahkan dengan kata “kesejahteraan manusia”. Pandangan Gus Dur tentang kegagalan Indonesia mencapai kesejahteraan masyarakat dikarenakan kebijakan ekonomi dan peraturan yang lebih mementingkan orang kaya daripada kepentingan rakyat biasa. Gus Dur meyakini bahwa kebijakan dan kesejahteraan masyarakat belum bersentuhan langsung. Sehingga menurut dia diperlukan paradigma baru kebijakan yang akan menopang peningkatan perekonomian masyarakat. Penulis berasumsi, yang dimaksud oleh Gus Dur adalah pemberdayaan masyarakat. Sebuah paradigma yang berangkat dari dan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat grass root berasaskan kebutuhan masyarakat tersebut.