Perguruan Islam An-Nizhamiyyah

Maulid: Meluhurkan, Melahirkan dan Upaya Aktualisasi Diri

Oleh: Safira Malia Hayati, M.Ag

 

Peringatan Maulid Rasulullah Saw merupakan salah satu tradisi keagamaan yang tumbuh dalam khazanah Islam, khususnya di dunia Muslim. Maulid tidak hanya dipahami sebagai perayaan seremonial atas kelahiran Nabi Muhammad Saw, melainkan juga sebagai sarana kontemplasi dan refleksi spiritual bagi umat Islam.

Kelahiran Rasulullah Saw sendiri memiliki makna historis dan teologis yang sangat penting. Beliau hadir di tengah masyarakat Arab yang kala itu berada dalam kondisi jahiliah; suatu masa yang ditandai oleh krisis moral, ketidakadilan sosial, serta dominasi kekuasaan yang menindas (kuat adalah yang berkuasa).

Al-Qur’an menyebutkan misi utama Rasulullah Saw sebagai rahmatan lil-‘ālamīn (QS. al-Anbiyā’: 107). Artinya, keberadaan beliau membawa rahmat tidak hanya bagi kaum Muslimin, tetapi juga bagi seluruh manusia dan bahkan alam semesta. Perspektif ini menegaskan bahwa peringatan Maulid bukan sekadar perayaan kelahiran, tetapi lebih jauh merupakan pengingat akan nilai-nilai profetik yang perlu diinternalisasi dan direalisasikan dalam kehidupan modern.

Dalam diskursus psikologi modern, aktualisasi diri sering dipahami sebagai puncak perkembangan manusia untuk merealisasikan potensi yang dimilikinya. Islam sebenarnya telah lama menekankan hal ini melalui ajaran-ajaran Rasulullah Saw. Sejak muda, beliau dikenal dengan julukan al-Amīn (yang terpercaya). Integritas, kejujuran, dan komitmen moral yang melekat pada pribadi Rasulullah Saw adalah wujud aktualisasi diri yang berlandaskan pada nilai-nilai ilahiah. Nilai-nilai kehidupan Rasulullah Saw yang luhur memang sepatutnya untuk dilahirkan dalam kehidupan kita umatnya.

Hadis Rasulullah Saw yang berbunyi “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”(HR. Ahmad) menegaskan bahwa misi utama beliau bukan sekadar penyampaian wahyu, tetapi juga transformasi akhlak. Dalam konteks ini, aktualisasi diri dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari akhlak sebagai basis utama.

Relevansi Maulid dalam Kehidupan Modern

Maulid Rasulullah Saw dapat dimaknai sebagai momentum untuk memperbaharui komitmen aktualisasi diri. Aktualisasi tersebut mencakup tiga dimensi utama:

1.⁠ ⁠Dimensi pribadi: mengembangkan kualitas spiritual, kecerdasan, dan kepribadian yang berlandaskan nilai-nilai Rasulullah Saw. Misalnya, menumbuhkan kesabaran, kejujuran, dan etos kerja.

2.⁠ ⁠Dimensi sosial: menghadirkan kebermanfaatan bagi orang lain. Hadis Rasulullah Saw menyebut: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ṭabarānī). Aktualisasi diri bukan hanya soal pencapaian individu, tetapi juga kontribusi nyata bagi masyarakat.

3.⁠ ⁠Dimensi transendental: menghubungkan seluruh proses aktualisasi dengan tujuan penghambaan kepada Allah Saw. Hal ini sesuai dengan ayat: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. al-Dzāriyāt: 56).

Dalam dunia pendidikan, misalnya, meneladani Rasulullah Saw berarti menjadikan ilmu sebagai sarana pencerahan, bukan sekadar alat memperoleh status sosial atau ekonomi. Dalam dunia kerja, aktualisasi diri berarti mengedepankan profesionalisme yang berintegritas. Sementara dalam lingkup keluarga, meneladani Rasulullah Saw berarti membangun relasi yang harmonis dan penuh kasih sayang.

Hanya saja, pada era modern ditandai oleh berbagai tantangan: materialisme, individualisme, dan krisis moral. Banyak individu mengejar aktualisasi diri dalam bentuk pencapaian karier, kekayaan, atau status sosial, tetapi melupakan dimensi spiritual dan sosial. Maulid Rasulullah Saw mengingatkan kembali bahwa aktualisasi diri sejati harus seimbang antara dunia dan akhirat, antara diri sendiri dan masyarakat, antara pencapaian materi dan nilai spiritual.

Keteladanan Rasulullah Saw juga mengajarkan pentingnya daya juang dan keteguhan prinsip. Dakwah beliau tidak pernah lepas dari penolakan, cemoohan, bahkan ancaman fisik. Namun, dengan kesabaran dan komitmen yang kuat, beliau mampu melahirkan perubahan besar dalam sejarah peradaban. Hal ini relevan dengan konteks aktualisasi diri di era modern: untuk meraih kedewasaan spiritual dan sosial, seseorang perlu konsistensi dan keteguhan menghadapi tantangan zaman.

Dengan demikian, peringatan Maulid Rasulullah Saw seharusnya tidak hanya dipandang sebagai tradisi keagamaan, melainkan juga sebagai wahana reflektif untuk menginternalisasi nilai-nilai profetik dalam aktualisasi diri. Rasulullah Saw adalah teladan paripurna (QS. al-Aḥzāb: 21), dan meneladani beliau berarti menghadirkan akhlak mulia, kepedulian sosial, serta kebermanfaatan universal dalam kehidupan sehari-hari.

Mengutip pendapat Quraish Shihab dalam karya akbarnya Tafsir Al-Mishbah, melihat Maulid dan sosok Rasulullah Saw sebagai panggilan kuat untuk aktualisasi karakter berdasarkan nilai-nilai Qur’ani yang konkret; menumbuhkan kejujuran dan integritas dalam kehidupan pribadi dan profesional; menjunjung amanah, baik dalam hubungan sosial maupun tanggung jawab publik; mengasah kecerdasan emosional & spiritual agar adaptif terhadap zaman; mengkomunikasikan nilai-nilai Islam secara efektif dan relevan.

Akhirnya, aktualisasi diri dalam perspektif Maulid bukan hanya soal menjadi pribadi yang sukses secara individual, tetapi juga pribadi yang mampu menebarkan rahmat bagi sesama. Dengan demikian, selebrasi Maulid Rasulullah Saw memiliki makna transformatif: melahirkan kembali semangat perubahan menuju peradaban yang lebih adil, beradab, dan berlandaskan nilai-nilai Islam.

Wallahu ‘alam bi al-shawwab.

Share Berita:

Pengumuman:

Kalender Event:

Berita & Artikel: