Perguruan Islam An-Nizhamiyyah

Koalisi Penguasa-Fuqahā’ dan Pembakaran Kitab Iḥyā’ di Andalusia

Oleh: Annas Rolli Muchlisin (Mahasiswa Master di Hamad bin Khalifa University, Qatar)

Ibn al-Qaṭṭān (w. 1231), dalam karyanya Naẓm al-Jumān, menceritakan aksi pembakaran kitab Iḥyā’ karya Imam al-Ghazālī (w. 1111) di Andalusia yang terjadi pada masa dinasti al-Murabbitun. Pada tahun 1109 M, amir kelima dinasti ini yang bernama ‘Alī ibn Yūsuf (w. 1143) mengeluarkan perintah agar kitab Iḥyā’ dibakar, sebuah perintah yang dilegitimasi oleh konsensus (ijmā’) Qadi Kordoba saat itu, yakni Ibn Ḥamdīn (w. 1114), dan fuqahā’ Maliki lainnya.

Di halaman sebelah barat pintu masuk Mesjid Kordoba dan disaksikan oleh publik, kitab Iḥyā’ pun dibakar. Pada masa kepemerintahan Tāshfīn ibn ‘Alī yang berkuasa dari 1143 hingga 1145, kitab Ḥujjatul Islām ini kembali dibakar untuk yang kedua kalinya.

Ada apa gerangan?
Beberapa ulama Andalusia sebelumnya telah melancarkan kritik terhadap karya al-Ghazālī. Abū Bakr al-Ṭurṭūsyī (w. 1126), misalnya, mengemukakan bahwa al-Ghazālī: 1) mengutip hadis yang lemah, 2) tidak menekankan pentingnya ilmu kalam, 3) terpengaruh ajaran Ikhwān al-Ṣafā’, filosof, dan al-Ḥallāj, 4) membolehkan aspek musikal dalam zikir (samā’), dan 5) mendukung topik-topik yang dianggap tabu, seperti soal karamat wali.

Namun, ketika ditelisik lebih jauh konteks historis masa itu, kita akan dapati sebab-sebab lain yang turut andil memicu pembakaran Iḥyā’ tersebut.

*
Jika Dinasti Bani Umayyah di Andalusia terlegitimasi oleh sosok Mu‘āwiyyah yang merupakan sahabat Nabi, Dinasti al-Murabbitun membangun legitimasi kerajaannya dengan merangkul mazhab Maliki dan menjadikan mazhab ini sebagai faktor pemersatu wilayah kekuasaannya. Para fuqahā’ Maliki diberikan jabatan di istana sebagai qadi dan hakim. Dengan fasilitas negara, fuqahā’ Maliki mampu menyebarkan ajaran-ajaran mazhabnya secara lebih luas.

Di tengah menguatnya koalisi penguasa-fuqahā’ ini, muncul sekelompok sufi yang lebih suka menghindar dari para raja (inqibāḍ ‘an al-sulṭān) dan memilih hidup zuhud di tengah rakyat jelata. Lambat laun, sikap kharismatik mereka mampu memenangkan hati masyarakat. Sebagai contoh, seorang sufi berpengaruh bernama Ibn Barrajān (w. 1141) disebut-sebut dihormati dan dipatuhi oleh penduduk dari lebih 130 desa. Kondisi ini dianggap mengkhawatirkan secara politik oleh istana.

Kekhawatiran istana pun beralasan karena beberapa tokoh sufi mampu memobilisasi massa untuk melakukan pemberontakan terhadap para raja yang mereka anggap korup dan zalim, seperti yang pernah dilakukan oleh Abū ‘Alī al-Sarrāj dan kemudian oleh kelompok Ibn Qasī.

Jika penguasa khawatir akan potensi pemberontakan politik oleh beberapa tokoh sufi, para fuqahā’ merasa otoritas keagamaannya terancam oleh ajaran-ajaran sufi yang kerap mengkritik ulama yang dekat dengan penguasa. Ketegangan-ketegangan antara koalisi penguasa-fuqahā’ dengan kelompok sufi pun tak terhindarkan.

Di tengah iklim polemik semacam itulah, kitab Iḥyā’ masuk ke Andalusia. Karya al-Ghazālī ini berisi argumen-argumen yang digunakan oleh kelompok sufi Andalusia untuk mendeskreditkan penguasa zalim dan para fuqahā’ yang dekat dengannya.

Di dalam Iḥyā’, al-Ghazālī misalnya menuliskan hadis Nabi, “Sebaik-baik raja adalah yang mendatangi ulama, dan seburuk-buruk ulama adalah yang mengunjungi raja.” Juga perkataan Muhammad ibn Salamah, “Lalat yang hinggap di atas kotoran lebih baik daripada pembaca al-Qur’an di depan pintu raja-raja yang zalim.” Juga perkataan Wahib, “Mereka yang masuk ke dalam istana para raja memiliki mudharat lebih besar daripada para penjudi.” Serta perkataan Fudhail ibn Iyadh, “Semakin dekat seseorang dengan raja (yang zalim), semakin jauh ia dari Allah.” Dan argumen-argumen serupa.

Karena kritik tajam tersebut, serta faktor-faktor lainnya yang kompleks, karya al-Ghazālī akhirnya dilarang dan dibakar.

*
Para Pembela al-Ghazālī

Tidak semua fuqahā’ mendukung pembakaran kitab Iḥyā’. Abū al-Ḥasan al-Barjī (d. 1115), seorang faqih dari Almeria, mengeluarkan fatwa yang menentang aksi pembakaran tersebut. Di saat yang bersamaan, proses asimilasi tasawuf terus berjalan, dibuktikan dengan masuknya teks-teks tasawuf ke dalam ‘reading list’ para ulama Andalusia dan munculnya generasi baru para fuqahā’ yang memiliki minat dan kecenderungan kepada tasawuf, seperti Ibn Rusyd al-Jadd (w. 1126).

Kakek dari filsuf beken Ibn Rusyd ini sepakat dengan al-Ghazālī bahwa derajat al-‘ārifūn bi Allāh (mereka yang mengenal Allah) lebih tinggi daripada al-‘ārifūn bi aḥkām Allāh (mereka yang memahami hukum-hukum Allah). Singkatnya, para wali Allah diyakini lebih mulia daripada fuqahā’.

Dari sisi politik, Ibn Tūmart (w. 1128 atau 1130) membentuk gerakan al-Muwahhidun yang kelak meruntuhkan dinasti al-Murabbitun. Sebelumnya, Ibn Tūmart pernah berkelana ke Timur (masyriq) untuk mencari ilmu dan di sana ia terpengaruh oleh pandangan-pandangan al-Ghazālī. Menurut penelitian Safran (2014), pembakaran Iḥyā’ membuka jalan bagi gerakan al-Muwahhidun untuk melegitimasi oposisinya terhadap rezim yang berkuasa saat itu.

Dengan tumbangya rezim al-Murabbitun dan berdirinya dinasti al-Muwahhidun, kondisi keberagamaan di Andalusia menjadi lebih bersahabat terhadap ajaran tasawuf, dan kitab Iḥyā’ bisa diterima secara lebih luas. Situasi ini memungkinkan para tokoh sufi Andalusia untuk mengembangkan ajarannya. Di tahun 1197, lahirlah Abū al-Ḥasan al-Syādzilī (d. 1258) di daerah Ghumarah, sosok yang kelak mendirikan tariqah Syādziliyyah yang sangat berpengaruh. Kitab al-Hikam yang ditulis oleh salah satu tokoh Syādziliyyah terkemuka, yakni Ibn ‘Aṭā’illāh al-Iskandarī (d. 1310), hingga kini masih dibaca di banyak pesantren dan majelis ta’lim di Nusantara.

Hingga awal abad modern, kitab-kitab al-Ghazālī diterima luas oleh kalangan ulama Andalusia dan belahan dunia Islam lainnya. Ibn ‘Ajībah (w. 1809), misalnya, banyak mengutip perkataan al-Ghazālī dalam karya-karyanya. Namun, kritik dan penolakan terhadap al-Ghazālī menggema kembali pada beberapa waktu terakhir. Dalam sebuah seminar online tentang tafsir dari sebuah lembaga di Saudi yang kami ikuti beberapa bulan lalu, salah seorang pemateri membahas adab membaca al-Qur’an berdasarkan ajaran para ulama, termasuk al-Ghazālī. Tetapi, si pemateri berpesan agar audiensnya berhati-hati dalam membaca karya al-Ghazālī karena “memuat banyak ajaran tasawuf.”

Sejarah Islam memang tidak pernah sepi dari sejarah perebutan dan kontestasi otoritas keagamaan.

Salam,
Annas Rolli Muchlisin

Further readings:
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn.
Ibn al-Qaṭṭān, Naẓm al-Jumān li Tartīb min Akhbār al-Zamān
Maribel Fierro, “Opposition to Sufism in Al-Andalus.”
Delfina S. Ruano, “Why Did the Scholars of Al-Andalus Distrust al-Ghazālī?”
Janina M. Safran, “The Politics of Book Burning in Al-Andalus.”
Yousef Casewit, The Mystics of Al-Andalus Ibn Barrajān and Islamic Thought in the Twelfth Century.

Share Berita:

Pengumuman:

Kalender Event:

Berita & Artikel: