Oleh: Ust. Faris Ibrahim, Lc, M.A (Peneliti di Yayasan Pemuda Hijrah Indonesia)
Tujuan membaca adalah menyadur informasi, bukan men-scan tulisan layaknya mesin fotocopy. Ibroh-nya ada di ‘kaif’ bukan di kam’. Keutamaan membaca itu ada di kualitasnya bukan di kuantitas.
Kenapa sih, kita mesti menjadikan aktivitas membaca kita yang begitu menyenangkan itu jadi terkait dengan angka angka, aturan, dan target-target?
Bukannya sudah banyak aturan melelahkan di keseharian kita -target-target kerja di kantor, angka-angka di kelas Matematika. Kenapa membaca -yang merupakan aktivitas paling menyenangkan di atas muka bumi harus diseret-seret juga ke sana?
Seperti buku -seluhur apapun usaha menyamaratakan laki-laki dan perempuan, hasilnya tetap saja sia. Buku memang diciptakan berbeda. Masing- masing punya kelebihan dan kekurangannya. Ada buku yang digubah dengan atraksi kata yang hidup menggambarkan destinasi-destinasi indah yang mungkin sampai matipun kita tidak akan kesampaian bisa pergi ke sana.
Ada buku yang penulisnya begitu lihai menyisipkan perenungan tentang makna hidup: nilai-nilai kemanusiaan, keluarga, persahabatan, persaudaraan, kasih sayang sesama makhluk hidup.
Ya persis seperti nilai-nilai yang tertulis di al-Qur’an. Kan sayang. Apa jadinya kalau kita membaca tutur-tutur indah seperti itu dengan tergesa-tergesa tanpa perenungan, hanya mengejar target saja, “Yang penting khatam sebanyak-banyaknya selama ramadan.” Sayang seribu sayang.
Padahal membaca itu bukan balap-balapan. Masing- masing kita, berusaha secepat mungkin melahap buku terkini yang bercokol di New York Times Best Seller- demi menonjolkan prestise diri.
Tapi kalau memang membaca adalah olahraga, mungkin marathon adalah yang paling cocok menggambarkannya. Dr. Raghib al- Sirjani yang merupakan profesor Urologi di Cairo University berpandangan demikian.
Cendekiawan yang lebih dikenal karena kedalamannya mengupas sejarah Islam itu bilang: “Membaca itu seperti lari maraton”; Tidak cepat, tidak pula lambat. Ada kalanya pelari harus lari-lari kecil, ada kalanya pula mereka harus melesat cepat.
Kalau memang lagi semangat-semangatnya baca-pikiran enteng, perut kenyang, perhatian terpusat apa salahnya kalau bacaan kita sedikit cepat. Apalagi kalau yang kita baca memang bukan buku- buku yang sarat perenungan.
Adapun kalau yang sarat perenungan, ayolah coba agak sedikit pelan-pelan. Sama seperti waktu kalian jalan-jalan menyusuri indahnya pemandangan kiri-kanan, apakah enak kalau supirnya ngebut? Tentu tidak.
Begitu pun membaca, maka pelan-pelan, niscaya kamu bisa menikmati setiap halaman, juga memetik pelajaran dari setiap kata yang ditulis oleh sang pengarang.