Perguruan Islam An-Nizhamiyyah

Dikotomi Ilmuwan: Ulama dan Akademisi

Oleh: Rafi Dinilhaq (Alumnus Prodi Tafsir UIN Imam Bonjol Padang)

Diskusi yang santer dibicarakan di dunia pendidikan ialah dikotomi keilmuwan. Pertanyaan yang kerap ditanyakan; apakah ilmu agama berbeda dari ilmu umum?! Untuk menjawab itu para ahli terbagi dua klaster; menolak dan mendukung. Kubu yang menolak berargumen bahwa ilmu umum tidak sepantasnya dibedakan dengan ilmu agama. Pasalnya, ilmu umum dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ilmu agama, karena tujuan mempelajari ilmu umum juga bersifat ukhrawi. Lagi pula, tanpa andil ilmu umum, ilmu agama akan terasa sulit diimplementasikan dalam berkehidupan. Keduanya bak ombak dan lautan.

Di lain pihak, pandangan itu disanggah oleh kubu yang pro-dikotomi. Mereka berpendapat bahwa ilmu umum dan ilmu agama seperti minyak dan air. Ilmu umum digambarkan sebagai ilmu yang berorientasi pada materi semata. Dan, ini tentu saja melanggar orientasi belajar yang harusnya lillahi ta’ala. Akibatnya, branding ilmu umum di sebahagian kalangan menjadi negatif. Untungnya, seiring berjalannya waktu, ketegangan dua kubu ini nampaknya mereda setelah muncul solusi alternatif; integrasi keilmuwan. Ilmu umum dan ilmu agama diupayakan “berjodoh” pada satu titik perjumpaan yang saling memperkaya, mencerahkan, dan memperbarui. Sejumlah nama seperti Kuntowijoyo, Dawam Rahadjo, Amin Abdullah, Azyumardi Azra, dan Wardani merupakan figur yang secara massif menawarkan upaya integrasi.

Belakangan ini, penulis melihat adanya pergeseran diskusi, yang awalnya dikotomi keilmuwan menjadi dikotomi ilmuwan. “Insan podium” dan “insan kampus” dipandang sebagai manusia beda kostum. Orang yang dinilai sebagai ulama seringkali tidak dilihat sebagai akademisi yang erat kaitannya dengan dunia perkuliahan. Sebaliknya, akademisi diposisikan sebagai intelektual kampus, meskipun di beberapa tempat ia mengisi pengajian. Tegasnya, dalam tradisi keilmuwan di Indonesia, ulama dan akademisi memiliki konotasi makna tersendiri.

Ditilik lebih jauh, sebetulnya embrio dikotomi ilmuwan berasal dari tradisi keilmuwan di Timur Tengah dan di Barat. Lulusan kampus Timur Tengah dominan mencetak para ulama, dai, atau pendakwah. Jebolan Mesir, Arab Saudi, Maroko, Sudan, Tunisia, Yordania, Yaman, dan Syiria banyak membersami proses belajar-mengajar di berbagai madrasah. Studi Islam di Timur Tengah punya proyeksi mempersiapkan estafet keulamaan, sehingga metode pembelajaran yang diterapkan adalah mendalami turats lintas generasi, menghafal Quran Hadis dan al-Mutun, serta menguasai masail-masail klasik dan kontemporer.

Kendati demikian, pandangan yang mengatakan bahwa tradisi keilmuwan semacam itu konservatif atau jumud agaknya patut ditinjau ulang. Buktinya, ulama yang studi di kampus Timur Tengah justru tetap eksis, dan mendapat tempat di hati masyarakat luas. Bahkan khidmat dakwah ke luar negeri sekalipun didominasi oleh lulusan Timur Tengah. Barangkali Ust. Adi Hidayat, Ust. Abdul Somad, Ust. Khalid Basalamah adalah contoh konkret yang merepresentasikan lulusan Timur Tengah tersebut. Tidak terkecuali ulama yang berasal dari rahim pesantren-pesantren lokal seperti di Jawa dan Sumatera, yang juga diposisikan sebagai ulama. Apakah mereka dikenal sebagai akademisi?!

Sementara studi Islam di Barat punya proyeksi mempersiapkan peneliti-peneliti baru yang berkualifikasi kritis dan kokoh secara metodologis. Peserta didik dilatih berfikir sistematis supaya memiliki kemampuan research yang handal. Di Indonesia, lulusan kampus Barat biasanya “berlabuh” ke berbagai kampus keislaman negeri. Sebagai seorang akademisi, kegiatannya banyak diisi dengan meneliti, mengajar, mengisi-menghadiri seminar maupun symposium, serta menghasilkan karya ilmiah. Lebih jelasnya, selama studi mereka tidak disibukkan dengan menghafal, mendaras turats ulama hingga khatam, atau menelaah kitab secara berjenjang dari level mubtadi` sampai muntahi.

Apa yang terjadi kemudian?

Ya, ulama dan akademisi mempunyai peran, target market, dan pendekatan yang berbeda di ruang publik. Meskipun mereka berada di bawah payung “kaum intelektual”, dalam ‘urf masyarakat kita keduanya berada di posisi yang tidak sama. Ulama identik dengan kepakaran dalam bidang ilmu agama yang mencerahkan umat melalui dakwah. Sedangkan akademisi identik dengan kepakaran pada suatu bidang ilmu di internal universitas, yang berfokus pada upaya mempersiapkan generasi keilmuwan yang kokoh secara teori dan metodologi. Pendek kata, ulama dan akademisi punya branding tersendiri.

Saya dapat mengatakan bahwa kita beruntung memiliki dualitas kesarjanaan seperti ini. Ulama berupaya mengisi qalbu masyarakat agar menjadi manusia dengan spiritualitas tinggi, sedangkan akademisi berupaya menjaga iklim intelektualitas tetap segar dengan penemuan-penemuan baru. Secara peran, keduanya teringtegrasi dan saling melengkapi. Dikotomi seperti ini, hemat saya, bukan berarti menjadi ancaman yang berpotensi membenturkan ulama dan akademisi. Justru ini menampilkan sebuah potret yang teramat jelas betapa paripurnanya keilmuwan di negeri kita. Bagi seorang penuntut ilmu, gambaran dikotomi seperti dijelaskan di atas dapat menyentakkan kesadaran mengenai perjalanan intelektualitas seperti apa yang ingin ia lalui. Pertanyaannya, Anda ingin dikenal sebagai ulama atau akademisi? Atau ingin dikenal sebagai ulama yang akademisi?

Share Berita:

Pengumuman:

Kalender Event:

Berita & Artikel: