Oleh: Rafi Dinilhaq (Peneliti Kajian al-Qur`an & Tafsir)
Kewajiban seorang Muslim kepada al-Qur`an terdiri dari 6 tangga; memilikinya, membacanya (tilawah), menghafalnya (al-Hifzh), mempelajarinya (tadarus, tafsir dan tadabbur), mengajarkannya (ta’lim), serta mengamalkannya (al-‘Amal). Untuk tangga pertama, memiliki mushaf al-Qur`an sudah barang tentu merupakan kewajiban paling mudah. Bagaimana tidak, hampir di setiap rumah, jumlah mushaf bahkan melampaui jumlah penghuni rumah. Mushaf yang digunakan juga bervariasi, mulai dari mushaf minimalis, size jumbo, hingga mushaf berwarna yang dilengkapi ahkam al-tajwid, terjemahan dan tafsir ringkas, bahkan kini mushaf telah didigitalisasi, sehingga dapat diinstall via google playstore. Ditilik jenis mushaf yang lazim digunakan, haqqul-yakin kita mengatakan bahwa umat Islam Indonesia menggunakan Mushaf Utsmani. Sementara lima kewajiban lainnya, hingga saat ini masih terus menggeliat di berbagai tempat dengan beragam cara, baik nafsi-nafsi, pengajian, maupun perhelatan kompetisi.
Tahukah kita? Mushaf yang kita miliki saat ini telah melewati proses yang begitu panjang. Pada mulanya, al-Qur`an ditulis di pelepah kurma atau bebatuan dengan alat seadanya. Ide untuk membukukan al-Qur`an baru muncul di masa Abu Bakar al-Shiddiq atas usulan Umar bin Khattab. Ide itu muncul karena para hafizh al-Qur`an banyak berguguran di perang Yamamah. Sebuah riwayat mengisahkan rasa keberatan Abu Bakar mengabulkan permintaan Umar. Alasan Abu Bakar simple dan masuk akal; Nabi Saw tidak pernah melakukan hal demikian. Setelah menimbang-memikirkan kemaslahatan umat, Abu Bakar akhirnya sepakat dan mulai membentuk tim kodifikasi. Finalisasi proses yang disebut Jam’al-Qur`an ini, baru paripurna di masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan, dengan nama “Mushaf Utsmani”, sebagai mushaf resmi umat Islam. Seiring perjalanan waktu, mushaf itu diberi harakah dan titik, seperti yang kita lihat sekarang.
Kemunculan Mushaf Utsmani nyatanya mendapat respon berbeda dari sejumlah kalangan, terutama Abdulllah bin Mas’ud. Perlu diketahui bahwa kala itu beberapa sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, dan Abdullah bin Mas’ud memiliki mushaf pribadi. Ayat yang telah dipelajari langsung dari Nabi Saw mereka catat di mushaf masing-masing. Meski tidak mencolok, tiap=tiap mushaf memiliki perbedaan dari sisi jumlah surah yang ditulis.
Kembali kepada Ibnu Mas’ud, Muhammad Abdurrahman bin Muhammad al-Thasan dalam karyanya bertajuk Tahqiq Mauqif al-Shahabiy al-Jalil Abdullah bin Mas’ud min al-Jam’i al-Utsmani merinci lima poin utama penolakan (baca: keberatan) Ibnu Mas’ud.
Pertama, Ibnu Mas’ud menolak Mushaf Utsmani karena khalifah tidak melibatkannya dalam tim kodifikasi dan menolak penunjukan Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim panitia. Berdasarkan riwayat Abu Wail, diceritakan bahwa penolakan ini diutarakan Ibnu Mas’ud melalui mimbar khutbah. Ia mengatakan telah belajar sekitar 70 surah secara langsung kepada Rasul Saw. dan menganggap dirinya paling ‘alim tentang ayat-ayat al-Qur`an. Khutbah lengkap Ibnu Mas’ud berbunyi sebagai berikut:
فَعَنْ أَبِي وَائِلٍ قال : خططنا ابن مسعود رضي الله عنه على المنبر فقال : (وَ مَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ) – آل عمران : 116 – غلّوا مصاحفكم و كيف يأمروني أن أقرأ على قرأة زيد بن ثابت و قد قرأت من فيّ رسول الله صلى الله عليه و سلّم بضعا و سبعين سورة و إن زيد بن ثابت رضي الله عنه ليأتي مع الغلمان له ذؤابتان و الله ما نزل من القرآن إلا و أنا أعلم في أيّ ِشئ نزل ما أحد أعلم بكتاب الله منّي و ما أنا بخيركم و لو أعلم مكانا تبلغه الإبل أغلم بكتاب الله منّي لأتيته
Ibnu Wail menuturkan bahwa ketika Ibnu Mas’ud mengakhiri khutbah dan turun dari mimbar, tidak seorangpun yang menentang ucapan Ibnu Mas’ud. Hal ini dinilai wajar karena Ibnu Mas’ud memiliki fadhilah, kekuatan hafalan, dan keluasaan ilmu, khususnya di bidang al-Qur`an. Di seantero negeri Kufah Ibnu Mas’ud dikenal sebagai pakar al-Qur`an yang begitu disegani oleh masyarakat.
Kedua, Ibnu Mas’ud mengingkari perintah Utsman yang memalumatkan bahwa mushaf selain Mushaf Utsmani harus dibakar.
Ketiga, Ibnu Mas’ud menetapkan basmalah sebagai awal surah al-Taubah pada mushaf miliknya (sementara di Mushaf Utsmani basmalah tidak ada).
Keempat, Ibnu Mas’ud tidak menulis surah al-Fatihah pada mushaf miliknya. Menurut riwayat al-Anbary- yang juga dinukil al-Qurthubi- bahwa Ibnu Mas’ud pernah ditanya alasan dibalik mengapa ia tidak menulis al-Fatihah di mushaf miliknya. Ibnu Mas’ud menjawab,”kalau aku menulisnya (al-Fatihah), aku mesti menulisnya di semua surah”.
Kelima, Ibnu Mas’ud mengingkari ((baca: tidak menganggap) surah al-Falaq dan al-Nas dan tidak memuat dua surah itu di mushaf miliknya.
Tidak tertulisnya al-Fatihah, al-Falaq dan al-Nas kian menegaskan distingsi mushaf-mushaf al-Qur`an pada masa itu. Ibnu Sirin berkata bahwa Ubay bin Ka’ab menulis surah al-Fatihah, al-Falaq, al-Nas, allahumma inna nasta’inuka (al-Khul’), dan allahumma iyyaka na’budu (al-Hafd) pada mushafnya. Dua surah pendek terakhir yang disebutkan (al-Hafd & al-Khul’) memang sudah dihapus tulisannya sehingga kita tidak dapat menjumpainya di mushaf standar yang ada saat ini. Keduanya diletakkan secara berurutan sebagai berikut: surat al-Ashr lalu al-Khul’ lalu al-Hafd lalu al-Humazah dan seterusnya. Dua surah pendek itu tetap bisa dibaca sebagai doa qunut, sebagaimana penganut mazhab Hanafi mengamalkannya. Berbeda dari Ubay bin Ka’ab, Ustman menuliskan al-Fatihah dan al-Mu’awwizataini pada mushaf Utsmani, sedangkan Ibnu Mas’ud meniadakan keempat hal tersebut di mushafnya.
Riwayat Zar bin Hubais juga memperkuat fakta di atas. Ibnu Hubais berkata kepada Ubay bin Ka’ab bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis al-Falaq dan al-Nas di mushafnya. Ubay bin Ka’ab dengan tegas menjawab: “Aku bersaksi Rasulullah Saw. mengabarkan kepadaku bahwa Jibril as berkata kepadanya (Nabi Saw): Katakanlah: Qul A’uzu bi Rabbi al-Falaq; Qul A’uzu bi Rabbi al-Nas. Kami hanya mengatakan apa yang dikatakan oleh Nabi Saw.
Perlu dicetak tebal bahwa penolakan Ibnu Mas’ud tidak berarti membatalkan keabsahan mushaf utsmani. Fakta di atas merupakan data sejarah yang tidak dapat dinafikan karena menjadi bagian dari dinamika kodifikasi mushaf al-Qur`an yang ditinjau dari sisi historis. Relasi kekuasaan disebut-sebut punya pengaruh besar mengapa pada akhirnya mushaf utsmani dijadikan sebagai mushaf resmi untuk semua kaum muslimin. Gus Abdul Wahab Ahmad menyatakan bahwa perbedaan mushaf pada masa itu dinilai wajar karena sangat boleh jadi para sahabat menulis cacatan-catatan khusus di luar ayat-ayat al-Qur`an yang tidak perlu dicantumkan. Di kesempatan lain akan dijelaskan jawaban atas lima poin keberatan Ibnu Mas’ud atas kodifikasi mushaf Utsmani. Jika Anda menjadi Ibnu Mas’ud yang dikenal sebagai pakar al-Qur`an, bagaimana perasaan Anda ketika tidak dilibatkan dalam proses pembukuan al-Qur`an?