Oleh: Luzian Pratama
Masa depan penuh tantangan itu sebuah kepastian, dalam perihal agama dan dakwah, kondisi masyarakat saat ini berada dalam kondisi kian hari kian pelik, problematika kehidupan beragama pun semakin kompleks dan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, para pendakwah juga dihadapkan dengan situasi rumit. Pola dakwah dituntut selaras dengan situasi yang berlangsung di tengah masyarakat agar pesan dakwah mudah diterima dan digemari semua kalangan.
Masyarakat dalam berbagai kondisi, terus mengalami perubahan. Hal itu sejalan dengan pandangan Piotr Sztomka dalam gagasan perubahan sosial yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis mengalami perubahan untuk memenuhi kebutuhannya sesuai perkembangan zaman. Masyarakat saat ini, dari masyarakat industri telah beralih menuju masyarakat informasi. Menghadapi kondisi tersebut, dakwah aktivitas yang selalu bersentuhan dengan masyarakat turut dituntut menggandeng perubahan menjadi sebuah peluang.
Saya teringat dengan sebuah tulisan Stanley J Grenz, dia menggambarkan bagaimana masyarakat saat ini berada di persimpangan jalan menghancurkan wujud modernitas yang disebut dengan “bangunan” menuju postmodernitas. Industri, sebagai lambang modernitas berganti dengan simbol-simbol komputer sebagai simbol postmodernitas. Postmodernitas lahir menjadi sebuah era kebudayaan baru yang pluralis.
Ide postmodernisme lahir sekitar tahun 1934 menjalar deras ke berbagai dimensi kehidupan. Arus itu menyeret kehidupan sosial, budaya, ilmu dan berbagai aktifitas lainnya. Dalam fenomena yang diakui oleh postmodernisme, adalah lahirnya era informasi yang mana masyarakat bergantung kepada informasi tersebut. Era informasi merubah tatanan hidup manusia di belahan bumi mana pun. Dari segi kecepatan, efesiensi. Jaringan yang dibentuk oleh era informasi begitu kentara yang notabene belum pernah terjadi pada peradaban sebelumnya.
Berdasarkan pemaparan Stanley itu, sangat memungkinkan postmodernitas ikut menyeret aktivitas dakwah. Namun dibalik itu, dakwah pun harus berada dalam peralihan tersebut agar dakwah tetap diminati. Mau tidak mau, terbawa atau dibawa, dakwah harus ikut ambil peran dalam era postmodernitas. Model-model konvensional dakwah perlahan-lahan pun akan tergerus dan beralih kepada model baru yang relevan dengan kondisi dan situasi masyarakat.
Dakwah bisa mengambil peran postmodernitas dengan sebuah konsep dakwah informatif, memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada pada saat sekarang ini. Beberapa istilah yang dapat kita gunakan menyikapi fenomena, merujuk kepada hasil penelitian Yazid dan Alhidayatillah, di antaranya jurnalistik dakwah, dakwah media massa, dakwah media sosial ataupun dakwah digital. Semua itu menggunakan saluran media untuk mempercepat tersampaikannya pesan dakwah kepada orang yang menerima dakwah (mad’u).
Perubahan sedemikian itu, dakwah tidak lagi diartikan proses mentransmisikan pesan-pesan dakwah masjid ke masjid. Saluran media dakwah baru memungkinkan kita mendengarkan penjelasan pesan dakwah secara daring, membuat konten dakwah audio visual dan mengunggahnya ke berbagai saluran seperti YouTube dan mungkin membuat akun media sosial untuk mempublikasikan konten dakwah. Karena dakwah merupakan kegiatan universal, maka di era digital ini dakwah membutuhkan kemampuan untuk menjangkau dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Dilihat dengan kacamata lebih luas, dakwah Islam menghadapi tantangan dan hambatan yang semakin kompleks. Hal ini karena realitas sosial yang ada juga semakin beragam dan kesenjangan masyarakat tidak dapat dihindari lagi. Ironisnya, hal ini justru menjadi sekat sosial budaya bangsa dan mengaburkan batas-batas yang ada sebelumnya.
Dakwah dalam model ini hadir dengan formulasi dakwah yang berbeda dan baru. Dibandingkan bentuk klasik yang memiliki tantangan berkisar pada penolakan, hinaan dan cacian. Berdakwah di zaman ini dan ke depannya memang tidak mudah, tapi juga tidak sulit. Da’i harus memiliki kesadaran lingkungan dan inovatif dalam menghadapi zaman yang berubah dengan cepat. Karena dakwah pada dasarnya berarti menyeru, maka pendakwah harus memahami keadaan orang yang akan dipanggil dan diseru.
Dakwah saat ini juga membutuhkan materi yang sederhana, efektif, tidak bertele-tele, mudah, dan tidak merendahkan. Terkadang Da’i dituntut bisa berimprovisasi dengan menambahkan humor agar tetap menarik dan tidak membosankan. Tidak hanya lisan, tetapi juga diperlukan inovasi-inovasi lain agar da’i dapat merespon perubahan perilaku masyarakat saat ini. Jangan biarkan apa pun yang diajarkan Da’i menyebabkan kemarahan atau membangkitkan kebencian dan perpecahan. Ini adalah bagian dari gambaran problematik tantangan dakwah saat ini dan ke depannya, terutama di era teknologi dan komunikasi yang mau tidak mau harus dihadapi dengan lapang dada.
Disamping itu, berkaca kepada pendapat salah satu tokoh postmodernisme Islam, Mohamed Arkoun, merekomendasikan Islam dipelajari dan dipahami budaya dan peradabannya melalui pendekatan ilmu sosial. Setidaknya ada empat pendekatan yang menurut Arkound dalam Ali Imron yang harus diperhatikan ketika mempelajari budaya dan peradaban Islam dan studi agama Islam pada masa sekarang dan masa mendatang, yaitu sejarah, antropologi, sosiologi, dan bahasa.
Arkoun memfokuskan refleksinya pada seluruh kritik epistemologis studi agama. Dalam karyanya, Arkoun mengatakan bahwa struktur dan konstruksi agama Islam merupakan hasil sejarah pemikiran keagamaan biasa, yang sebenarnya hanya menyangkut ruang dan waktu. Arkoun berpandangan, ketika agama dipraktikkan dalam kehidupan orang-orang tertentu, dibatasi oleh kepentingan sosial, politik, dan ekonomi tertentu, maka agama Islam yang membawa ajaran transendental-universal tidak lagi memiliki karakter itu secara persis.
Arkoun mengkritisi argumentasi Islam klasik. Dimana pemikiran Islam tidak terbuka terhadap pemikiran modern dan karena itu pula sebagai alasan tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam kontemporer. Menurut Arkoun, jika pendekatan agama Islam tetap dilakukan atas dasar keyakinan langsung tanpa kritik. Maka faktor-faktor sosial, budaya, psikologis, dan politik yang mempengaruhi proses perwujudan sejarah Islam akan terhambat perkembangannya. Sehingga model pemikiran seperti itu menjadikan Islam agama kaku dan tertutup.
Dengan pergantian dari bangunan modernitas ke postmodernitas, sekiranya pandangan semacam itu perlu dihilangkan dan diganti dengan pendekatan-pendekatan yang menyentuh realitas masyarakat postmodern. Dakwah agama secara empirik dimestikan bersinggungan langsung dengan perubahan yang terjadi. Sehingga Agama pada praksisnya tidak lagi tampak jauh dan berlawanan dengan kehidupan masyarakat. Jika sudah dilakukan secara menyeluruh dan usaha sungguh-sungguh, dakwah Islam akan mampu menjawab kebutuhan masyarakat postmodern.